Minggu, 15 Februari, pada awal hari, karena belum dapat tidur sekitar pukul 00.30, saya menyaksikan siaran televisi. Entah mengapa, biasanya jarang saya lakukan, tengah malam atau awal pagi itu saya memutuskan untuk menyaksikan acara TV One, Jakarta. Semua serba kebetulan. Sudah menjadi kebiasaan, ketika menyaksikan acara televisi, saya suka membaca teks berjalan yang turut disiarkan oleh televisi. Keasyikan saya membaca teks berjalan kadang-kadang melebihi kesukaan saya terhadap acara yang disuguhkan oleh media televisi yang saya saksikan. Teks berjalan TV One pada tengah malam atau awal pagi itu memuat berita, “Pemkot [Pemerintah Kota,] Batam patenkan 10 motif batik Melayu.” Kalau sudah membaca atau dan menyaksikan acara seperti itu, saya senantiasa berada dalam suasana hati yang berbunga-bunga. Selanjutnya, berita dan niat untuk menuliskan masalah pematenan motif Melayu Batam itu di Kolom Budaya, Batam Pos Minggu, mengantarkan saya ke tidur yang sangat nyenyak lagi selesa.
Pagi hari sebelum berangkat ke kerja saya sempatkan diri untuk membeli beberapa surat kabar lokal. Maksudnya, apa lagi, kalau bukan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang berita dari teks berjalan TV One tengah malam tadi. Alangkah kecewanya saya, karena tak satu pun surat kabar lokal itu memuat berita tentang pematenan motif batik tersebut. Entah beritanya terlewatkan oleh saya karena sudah diberitakan beberapa hari sebelum ini, entah berita semacam itu tak menarik untuk diberitakan menurut penilaian surat kabar lokal, atau entah sebab apa lagi, saya sungguh-sungguh tak dapat menerkanya. Jadilah hanya dengan berbekal berita teks berjalan TV One, Jakarta itu saya bahas masalah tersebut di dalam kolom ini.
Kegiatan bertenun dan membatik bukanlah asing bagi masyarakat Melayu Propinsi Riau atau Riau Daratan. Pematenan corak (motif) dan ragi (disain)-nya pun sangat gencar dilakukan di sana, terutama dimotori oleh Dewan Kerajian Nasional Propinsi Riau dan kabupaten/kotanya. Beritanya sudah tersiar sampai ke sekutah nusantara dan luar negeri yang disebarkan oleh media-media cetak dan elektronik, baik lokal maupun nasional. Siapakah yang tak tahu akan kehebatan tenun Siak dan Bukitbatu? Sekarang Riau terkenal pula dengan kerajinan batik dengan mengembangkan corak dan ragi Melayu. Kini siapa pun yang berkunjung ke Propinsi Riau, terutama ke Pekanbaru, Siak, Bengkalis, dan Inderagiri Hilir, selalu berusaha untuk membeli kain tenun dan batik Melayu Riau untuk dibawa pulang sebagai buah tangan atau cendera mata.
Mengapakah kerajinan tenun dan batik dapat bertahan, bahkan berkembang pesat sekarang, di Riau Daratan? Dari penelitian yang pernah kami lakukan (Abdul Malik, Tenas Effendy, Hasan Junus, dan Auzar Thaher) pada 1990-an, diperoleh jawaban yang sangat membanggakan. Para petenun dan pembatik itu—umumnya perempuan—dengan jujur mengakui bahwa mereka menekuni bidang ini bukan semata-mata karena alasan ekonomi. Lebih dari itu, mereka ingin mempertahankan tradisi yang baik, yang sudah membudaya selama ratusan tahun. Dari hasil karya tenun dan batik, Melayu Riau dikenal orang secara luas, sama ada dalam ataupun luar negeri. Tak kurang mustahak dari itu, unsur dalaman tenun dan batik menyiratkan nilai-nilai kerja keras, keindahan, kelembutan, keuletan, kesabaran, ketekunan, kesopanan, kepatutan, dan sebagainya yang harus dimiliki oleh perajin sehingga menghasilkan produk yang bermutu tinggi. Dengan memahami, menghayati, dan mengamalkan filosofi bertenun dan membatik khas Melayu, para perajin itu merasa sempurna menjadi perempuan Melayu.
Tak kurang itu pulalah alasan para perempuan Daik, Lingga—baik tua maupun muda—yang menekuni kerajinan tudung mantur dan tekat yang amat masyhur itu. Daik pun suatu masa dulu terkenal akan batik cap. Kalaulah hanya alasan ekonomi, mungkin banyak di antara mereka yang sudah meninggalkan pekerjaan itu karena pemasarannya yang kurang baik. Bukan karena peminatnya kurang, melainkan sebab kurangnya promosi dan penjualannya bergantung pada pesanan, yang pun melalui daerah lain, terutama Kota Tanjungpinang. Akan tetapi, seperti yang dituturkan dengan suara yang lembut dan merdu khas perempuan muda Daik, Damnawati (bukan nama sebenarnya), “Pekerjaan ini tak hanya berhubungan dengan wang ringgit, Pak. Ini lebih berkelindan dengan mempertahankan budaya kita sejak zaman dahulu. Dan, citra perempuan Melayu akan terjelma dari tudung mantur dan tekat yang dikerjakannya atau yang dikenakannya. Sebab itu, saya sangat bahagia dan bangga ketika Emak mewariskan kemahiran ini kepada saya.” Ibunya memang perajin tudung mantur dan tekat yang handal di Daik sehingga terkenal sampai ke Bintan, Singapura, dan Malaysia. Sampai hari ini saya tak tahu apakah tudung mantur dan tekat Daik serta corak dan raginya sudah dipatenkan atau belum. Jika belum, sebaiknya bergegaslah karena zaman sekarang jika kita terlambat, orang lainlah yang melakukannya.
Satu daerah lagi yang suatu masa dulu sangat terkenal akan tenunan ialah Anambas. Kerajinannya disebut tenun Siantan. Konon, kualitas tenun Siantan jauh di atas tenun Siak atau Bukitbatu, Bengkalis. Sayang, kerajinan tenun Siantan ini tak berbekas lagi sekarang sehingga tinggallah kain-kain lama yang bisu, yang ada pada orang-orang tertentu saja. Kita berharap, dengan terbentuknya Kabupaten Anambas, kerajinan tenun Siantan ini dapat dibangkitkan kembali karena sangat penting, baik ditinjau dari sudut ekonomi lebih-lebih dari sudut pengekalan nilai-nilai budaya dan ciri khas daerah.
Balik lagi ke Batam. Kalau berita pada teks berjalan TV One itu betul, Kota Batam sungguh melakukan lompatan yang penting, yang bukan hanya patut dipuji melainkan lebih-lebih disyukuri. Dengan berkembangnya Batam sebagai pulau industri, selama ini orang hanya mengenal Kota Batam sebagai ikon modernitas bagi Kepulauan Riau. Bahkan, Batam nyaris diidentikkan dengan budaya industri dengan segala sisi positif dan negatifnya.
Dengan dipatenkannya sepuluh corak batik Melayu, berarti kini Batam sudah mengembangkan kerajinan batik Melayu. Kalau dikelola dengan baik, kita yakin bahwa batik Melayu Batam ini akan berkembang dengan baik karena sebagai kota industri dan pariwisata Batam banyak dikunjungi orang dari berbilang negeri dan negara. Bersamaan dengan itu pula, Batam dapat menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya merupakan bagian dari Kota Melayu yang penting di dunia ini yang mencita-citakan diri menjadi Bandar Dunia Madani. Dengan memanfaatkan, mengelola, dan mengembangkan warisan berharga budaya bangsa ini bukan tak mungkin suatu ketika nanti Batam akan dikenal sebagai Kota Batik Melayu terbesar di nusantara. Lebih penting dari itu, ini adalah bisnis yang menyebatikan keuntungan materi dan kultural yang memang perlu digalakkan.
Pasal apa? Corak dan ragi Melayu itu tak semata-mata menyerlahkan keindahan. Di dalamnya terdapat nilai-nilai filosofis yang tinggi yang perlu diresapi, diinsyafi, dan diamalkan oleh generasi Melayu di mana dan bila masa pun mereka hidup. Akan lebih disyukuri jika nilai-nilai itu dipahami pula oleh orang lain yang membeli dan memakai batik Melayu itu. Corak (motif) “pucuk rebung sekuntum”, misalnya, mengandungi nilai “bila memakai pucuk rebung sekuntun, bagai bertajuk bunga yang harum; gelak beriring senyum di kulum, duduk berunding sesama maklum.” Corak “tampuk manggis bertabur” pula menyiratkan makna, “hiasan tampuk manggis bertabur, walau bertabur serasi juga; sanggam duduk bermanis tutur, tahu bersyukur budinya mulia.” (Selanjutnya, lih. Abdul Malik dkk. 2003. Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau. Yogyakarta: Adi Cita).
Syabas dan tahniah, Pak Ahmad Dahlan dan Pak Ria Saptarika serta seluruh masyarakat Batam. Dan, jayalah batik Melayu Batam! ***
*Pemerharti kebudayaan
Sumber : www.batampos.co.id
0 Response to "Batik Melayu Batam"
Posting Komentar